Kisah Pertempuran Detik-Detik Terakhir Syahidnya Abdullah Syafi'ie

Sore itu sudah mendekati Magrib, Kamis (6/12), tepatnya pukul 18.05 WIB, laju kendaraan roda empat yang kami gunakan baru saja sampai di simpang jalan menuju makam Tgk. Abdullah Syafi’e. Satu dari kami turun menanyakan alamat pasti dimana makam Panglima Abdullah Syafi’e, maklum selama ini kami hanya mendengar dan belum sekalipun berkunjung makam Panglima perang Aceh yang sangat disegani sampai akhir hayatnya itu.
Seperti berjodoh, sosok tempat kami bertanya itu dulunya adalah pengawal pribadi Tgk.Abdullah Syafi’e semasa masih dalam rimba Aceh, hanya saja ia tidak berada di samping Tgk.Lah (panggilan akrab Abdullah Syafi’e-red) saat peluru memisahkan nyawa Tgk.Lah dengan raganya.
Sosok itu bernama Samsul Bahri alias Gegana, pria hitam berpostur tegap yang meninggalkan bangku sekolah dasar karena komitmennya mengikuti jejak Tgk.Lah segera menelpon Abu Bakar Rayeuk begitu tahu maksud kedatangan kami. Ia sendiri mengaku semasa kecilnya sering membawa perbekalan untuk Tgk.Abdullah Syafi’e.
“Dari SD lon ka pura-pura yak tarek kaye ngeon keubeu nok, sira lon ba breuh, rukok kisaran puntong keu Tgk.Lah. Bak gop nyan keuh lon turi GAM,” ungkap Gegana mengenang awal ia bergabung dengan GAM di era 90-an.
Dari pembicaraannya, kami tahu kalau ia meminta izin kepada atasanya untuk menemani kami ke makam Tgk.Lah di gampong Cubo, Pidie Jaya. Tanpa berdiskusi lama, Gegana pun ikut rombongan sekaligus menjadi penunjuk jalan bagi kami sampai ke tujuan.
Selama 15 menit dalam perjalanan ia banyak berkisah tentang sosok Tgk.Abdullah Syafi’e berikut dengan sikap sederhana dan kebijaksanaannya, bahkan terkadang Tgk.Lah sebagai Panglima perang menjadi juru masak untuk pasukannya.
Dimulai pada hari 28 puasa tahun 2002, seminggu sebelum meninggalnya Tgk.Abdullah Syafi’e, Gegana sebagai pengawal Tgk.Lah bersama lima orang lainnya, termasuk istri Tgk.Lah mendapat informasi dari anggota TNI bahwa keberadaan Tgk.Lah bersama pasukannya sudah diketahui TNI. Melalui adik perempuan anggota TNI tersebut yang juga warga setempat, ia berpesan agar Tgk.Lah berpindah posisi karena lokasi dimana Tgk.Lah berada akan disisir.
Mendengar berita tersebut, Tgk.Lah mengatakan kepada pasukannya bahwa mereka tidak berhak mengawalnya, masing-masing berhak menjaga nyawa sendiri demi keselamatan.
“Peu gata sanggop tadeong sajan lon?” begitu Panglima bertanya saat itu.
“Demi perjuangan, nyawong lon tem bie,” jawab Gegana mengenang, dan dari semua yang ikut dalam barisan hanya Gegana yang menjawab pertanyaan tersebut, selebihnya diam.
Gegana berkisah lebih dalam, hari itu masih jam 03.00 WIB pagi, Tgk.Lah bangun memasak nasi untuk sahur yang sebentar lagi tiba, ini dilakukan Tgk.Lah karena pasukan sedang terlelap dan memang menjadi kebiasaannya.
Singkatnya, jelang pukul tujuh pagi, Gegana yang masih terjaga selepas sahur tadi melihat seekor kucing lari ke arah camp, berikut dengan suara ayam hutan yang ribut, Gegana semakin yakin ada orang lain di dekat lokasi mereka saat ia mendengar suara orang berbicara.
“Ada bau ikan asin dan jejak baru,” begitu kata Gegana meniru.
Segera ia memberitahukan kepada Tgk.Lah, dan saat itu Tgk.Lah langsung turun mengecek sendiri kebenarannya setelah dua pucuk senjata jenis pistol dan AK-56 ia serahkan kepada Gegana.
Saat itu jarak Tgk.Lah dan pasukan TNI gabungan hanya sekitar sepuluh langkah, dan TNI memerintahkan Tgk.Lah agar jangan lari, namun Tgk.Lah tak menggubrisnya.
“Deungon kuasa Allah senjata TNI wate nyan hana meledak sampo Tgk.Lah leupah geugisa u camp geucok senjata,” ujar Gegana.
“Deong, kunak peu abeh mandum,” kata Gegana mengutip kata Tgk.Lah sesaat sebelum terjadi kontak tembak.
Sesampai disana, istri Tgk.Lah, Ummi Fatimah binti Abdurrahman melarang suaminya mengingat kondisinya dalam keadaan hamil tiga bulan.
“Bek neu meuprang, lon hana sehat,” papar Gegana meniru kata Ummi Fatimah kepada Tgk.Abdullah Syafi’e.
Setelah mendengar kata istrinya, Tgk.Abdullah Syafi’e mengurungkan niatnya menghadang TNI, lalu ia menghindar dari kejaran pasukan TNI gabungan yang sudah mengepung pegunungan di sekitar Gampong Cubo, namun Gegana dan pasukan pengawal Tgk.Lah terus membalas tembakan musuh hingga mereka terpencar, sejak itulah ia tidak lagi berjumpa dengan Panglima perangnya, dan Gegana berhasil meloloskan diri ke kawasan Pante Breuh.
Mendekati hari meninggalnya Tgk.Abdullah Syafi’e di kawasan pegunungan dalam gampongnya di Cubo, Abu Bakar Ubit eks kombatan yang pernah belajar di kamp Tajura, Libya, sekarang menjabat Wakil Ketua DPRK Pidie Jaya mengaku kalau setelah terpencarnya Tgk.Lah dengan pasukan pada pengepungan seminggu lalu, membuat Abu Bakar Ubit bertemu dengan Tgk.Lah dalam satu barisan.
Ia mengaku bahwa pada hari tertembaknya Tgk.Abdullah Syafi’e selaku Panglima yang tidak pernah keluar dari rimba Aceh, ia ada dalam satu barisan tempur, hanya saja tidak berdampingan langsung dengan Tgk.Lah.
Ceritanya, hari itu, 21 Januari 2002, di pegunungan antara Jim-Jim dan Cubo, seribuan TNI sudah seminggu lebih merayap untuk memantau pergerakan Tgk.Abdullah Syafi’e. Tepat di Kareung Bla, disanalah awal peperangan antara pasukan TNI dengan Tgk.Abdullah Syafi’e, kecamuk perang dalam rimba Aceh tersebut membuat pasukan Tgk.Abdullah Syafi’e harus bergeser untuk menghindari jumlah pasukan TNI yang begitu banyak, pasukan Tgk.Lah kalah jumlah.
Pasukan Tgk.Lah akhirnya bermalam di pegunungan Alue Mon, pegunungan tersebut tepat berada diatas Gampong Cubo, dan masih terlihat dari makamnya sekarang.
Pada pagi 22 Januari 2002, pukul 08:10 WIB, pasukan TNI yang sudah mengepung lokasi Tgk.Abdullah di perbukitan Alue Mon sejak kemarin, terbaca oleh pasukan Tgk.Lah, disinilah awal perang besar-besaran terjadi.
“Dari poh lapan beungoh sampo seupot baro reda prang,” kenang Abu Bakar.
Dalam pertempuran sengit itu, Abu Bakar sebagai pasukan di garis dua bersama dengan kawan-kawannya terus menghadang pasukan TNI, dan pasukan Tgk.Lah juga berperang tanpa menghiraukan lagi sekelilingnya.
Dalam keadaan itulah, sebagian pasukan Tgk.Lah tercerai berai karena harus menghindari gempuran TNI yang terus merangsek dan memburu Tgk.Lah, sehingga Abu Bakar Ubit menjelang malam berhasil melepaskan diri dari kepungan TNI yang hanya berjarak puluhan meter.
Ia berhasil melepaskan diri setelah menyelinap dari kumpulan daun-daun hingga mencapai pinggiran sawah, lalu ia terus mencari jalan untuk bisa keluar ke arah jalan raya.
Saat itu Abu Bakar belum mengetahui bagaimana keadaan Tgk.Abdullah Syafi’e beserta pasukannya yang sudah terpencar untuk mempertahan diri dari hujan peluru TNI, ia berharap Panglima perangnya dalam kondisi sehat.
Namun Allah berkehendak lain, Tgk.Abdullah Syafi’e beserta tiga lainnya meninggal seusai perang, Tgk.Abdullah tertembus peluru TNI tepat di dadanya. Abu Bakar pada hari keempat paska pertempuran baru mengetahui bahwa Panglima perangnya sudah tiada. Dari pihak TNI juga jatuh korban sebanyak sembilan orang.
Setelah semalaman jasad Tgk.Abdullah Syafi’e dan tiga lainnya yaitu istrinya Ummi Fatimah binti Abdurrahman, pengawalnya Muhammad bin Ishak dan penasehatnya M.Daud bin Hasyim berada di tempat pertempuran, keesokan harinya oleh warga, keempat jasad mereka dibawa ke rumah sakit Sigli.
Keempat jasad yang setia berjuang hingga tetes darah penghabisan akhirnya dikebumikan secara bersisian dalam satu atap tepat di belakang rumah Tgk.Abdullah Syafi’e di Gampong Cobu, Pidie Jaya pada tanggal 24 Januari 2002. Mereka telah memberikan semangat juang yang tinggi dan ia telah menorehkan sejarah bahwa keyakinan harus dipertahankan walau nyawa menjadi bayaran, agar sesuatu tidak akan sia-sia.

Komentar