Kisah Rusli Bintang Kehilangan Adiknya Gara-gara Tak Punya Uang Seribu (Bagian 3)


“WATÈE nyan kondisi gӧbnyan (Rusli Bintang) ka geumeukat-meukat minyeuk bak aki limong gang apui di keu masjid raya. Watèe nyan kamoe mantӧng ubit that (Waktu itu, beliau (Rusli Bintang) sudah mulai berjualan bensin di kaki lima Gang Apui di depan Masjid Raya (Baiturrahman),” kata Musa.
Setelah memiliki modal, Rusli membuka usaha warung kopi. Warung itu dibuka saat subuh, dan tutup tengah malam. Saking paginya, pernah satu kali ia membuka warung, dan tak ada satu manusia pun yang lewat. “Saya pikir ada kejadian apa ini,” kata Rusli.
Kemudian, dia berdiri di tengah jalan yang sepi menunggu pembeli. Hingga kemudian melintaslah seseorang mengendarai sepeda motor. Rusli memintanya berhenti dan bertanya mengapa sepi sekali. Si pengendara sepeda motor meminta Rusli melihat waktu.
Rusli yang tak memiliki arloji, balik bertanya sudah pukul berapa? “Sekarang ini masih jam dua pagi dini hari, ya nggak ada orang yang minum kopi,” kata orang itu. Rusli balik ke warungnya. Ia tak mungkin menutupnya, dan tetap dijaganya sampai pelanggan datang.
Kurang beruntung di warung, pada 1974 Rusli menjadi buruh harian di sebuah perusahaan konstruksi yang berpenghasilan tidak tetap. Tak hanya di Banda Aceh, Rusli juga bekerja ke daerah-daerah lain, di antaranya di Beureunun (Pidie), Lhokseumawe, Aceh Utara. Di sana mula-mula ia menjadi buruh angkat pasir pada sebuah perusahaan konstruksi.
Dikenal sebagai pekerja yang tabah, sabar dan jujur, membuatnya mudah mendapat kepercayaan. Lima bulan bekerja sebagai buruh kasar, ia diangkat menjadi penjaga gudang, dan pada tahun itu juga dia menjadi mandor.
Namun, itu semua belum membuat hati Rusli tenang. “Kalau cuma bekerja sebagai buruh bagaimana saya bisa membantu anak-anak yatim?” bisik Rusli. Penda-patannya yang rendah tentu sulit untuk mewujudkan cita-citanya itu. Maka pada 1976, dia pun kembali ke kampung halamannya untuk memikirkan usaha yang lain.
Rusli merencanakan membuka kebun di Lamtamot, Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar. Namun, ayahwa-nya (sebutan untuk abang dari ayah di Aceh) malah melarangnya. “Bersihkan niatmu, Nak! Jangan membuka kebun, carilah pekerjaan lain, kamu akan berhasil karena apa yang kamu mimpikan itu benar. Teruskan usahamu”.
“Ingat, walaupun kamu memiliki kawan seribu orang, seorang musuhmu dapat menghancurkan kamu jika tidak kamu terima dengan ucapan alhamdulillah. Sebaliknya, walaupun seribu musuhmu dan seorang kawanmu, jika sikap musuh kamu terima dengan alhamdulillah, kamu akan berhasil”. Rusli memahami nasihat ayahwa-nya.
Itulah sebabnya, pada 1976, Rusli mulai mencoba menjadi wiraswastawan, yaitu sebagai pemborong (kontraktor kecil-kecilan) di Banda Aceh. Rupanya, di sinilah bintang Rusli bersinar.Kilau cahaya keberuntungan mulai menaunginya.Setahun kemudian, ia mulai mengambil pekerjaan konstruksi bangunan. Rusli bekerja sama dengan seorang keturunan Cina dengan menggunakan perusahaan pinjaman, CV Desa Jaya. Hasil usahanya semakin lama semakin maju sehingga beberapa proyek daerah diberikan kepadanya.
Rusli yang memang sejak kecil rajin beribadah mempertegas lagi janjinya dengan Allah dalam sebuah nazarnya. “Ya Allah, bila Engkau berikan rezeki, akan saya bantu anak-anak yatim agar mereka jangan mengalami pahit menjadi anak yatim sebagaimana yang saya alami.”
Tak hanya berdoa, Rusli juga rajin bekerja sehingga usahanya dengan CV Desa Jaya berkembang dengan baik. Ia pun mulai dikenal oleh pejabat-pejabat di Aceh. Salah seorang di antaranya adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh di masa itu, M.Z. Abidin. “Lebih baik memakai perusahaan sendiri daripada terus bergabung dengan orang lain,” katanya kepada Rusli.
Rusli melaksanakan nasihat itu. Pada 1978, ia membeli sebuah perusahaan CV Kumita Karya yang bergerak di bidang kontraktor dan leveransir. Lalu pada 1979, CV Kumita Karya ditingkatkan statusnya menjadi PT Kumita Karya dan Rusli Bintang menjabat sebagai Direktur Utamanya. Ia dibantu Hasballah Yusuf, Anwar Amin, dan Joni Makmur.
Bisnis Rusli yang semakin maju tak membuatnya melupakan janji pada Allah. Pada 1980 ia mulai menyantuni 750 anak yatim di Kecamatan Kuta Baro dan sekitarnya. Santunan yang diberikan pada waktu itu berupa daging lembu setiap hari meugang. Meugang adalah budaya rakyat Aceh dalam menyambut tiga hari besar Islam, yaitu Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Setiap Lebaran, kepada mereka (anak yatim) juga diberikan pakaian dan uang saku untuk lebaran.
Namun, semua kebaikan yang dilakukannya itu tidak membuat rezeki Rusli berkurang. Bahkan sebuah perusahaan semen PT Semen Andalas (sekarang PT Lafarge) yang pemodalnya dari Prancis, mempercayai Rusli sebagai satu-satunya pengusaha yang mendistribusikan semen ke seluruh Sumatera.
“Jai sumbangan fasilitas gampông dari Rusli, bantuan meunasah, jembatan. Setiap bulan sabé na seudeukah untuk aneuk-aneuk yatim, hana yang meu-ubah dari ubeut sampoe ‘an jinoe, jih gӧt akai (Banyak sumbangan fasilitas untuk kampung, bantuan meunasah, setiap bulan membantu anak-anak yatim, tidak ada perubahannya dari kecil sampai sekarang, dia memang baik budi pekertinya),” kata Zakaria Amin, warga Lam Asan.
Simak bagaimana Rusli Bintang bekerja sebagai buruh hingga mendirikan kampus Abulyatama dan Universitas Malahayati di Lampung pada bagian berikutnya.Lihat Bagian Empat
Catatan: Tulisan Ini Adalah Penggalan Kisah Dalam Buku “Inspirasi, Spirit & Dedikasi” karya Nurlis E. Meuko dan editor Yuswardi A. Suud.

Komentar