Kisah Rusli Bintang Kehilangan Adiknya Gara-gara Tak Punya Uang Seribu (Bagian 2)


“BANG saya butuh uang seribu rupiah, besok saya mau ujian,” pinta Darmawan yang sekolah di SMP Iskandar Muda. Darmawan adalah adik kesayangannya. Ia menjadi harapan utama untuk membantu Rusli mencari rezeki membantu keluarga. Sebab itu, ia berharap Darmawan mampu menyelesaikan sekolahnya.
Rusli tercenung mendengar permintaan sang adik. Di masa itu, tahun 1970, bukan perkara mudah bagi Rusli untuk mencari uang seribu rupiah. Menyisihkan uang Rp1000 dalam sehari pun ia belum mampu. Kendati demikian, Rusli tetap berjanji memenuhi permintaan adiknya itu. Maka, hari itu juga ia mencari ke sana kemari, termasuk berupaya meminjam pada teman. Gagal. Lalu, ia mencoba menjumpai kepala sekolah untuk meminta penangguhan waktu pembayaran uang pendaftaran tersebut. Namun, nihil.
“Besok Darmawan seharusnya mengikuti ujian akhir SMP bersama kawan-kawannya, tetapi apa daya saya tak mampu memberikan biaya,” hati Rusli berbisik. Air matanya berlinang. Hari itu Rusli hanya mampu mencari rezeki berupa satu bambu beras untuk keluarganya.
Menjelang magrib, Rusli pulang ke rumah. Ia melihat Darmawan sedang turun dari tangga rumahnya hendak ke meunasah (surau). “Bagaimana Bang?” Darmawan bertanya dengan suaranya yang sedikit rendah dengan nada berharap.
Mendengar pertanyaan adiknya, Rusli tercekat. “Jangan putus asa, Dik! Tahun depan Adik ikut ujian. Abang belum mampu mencari uang yang Adik perlukan,” ujar Rusli menguatkan hati. Suaranya parau. Darmawan mengangguk.
Dalam keadaan gelisah, Rusli meninggalkan rumah dan pergi tidur bersama teman-temannya sekadar menghibur diri. Pada malam itu, Rusli diliput rasa gelisah dan semakin lama semakin menjadi-jadi. Akhirnya, ia putuskan pulang ke rumahnya pukul 23.00 WIB.
Secara bersamaan, adiknya yang tadi ke meunasah sedang diantar teman-temannya dalam kondisi tidak sadarkan diri. Rusli terkesiap. Darmawan digotong tidur di atas tikar di dalam rumah. Rusli memandangi adiknya yang sedang sakit. Ia panik melihat Darmawan mulai muntah-muntah. Halimah, ibunya, memandang mereka dengan hati yang hancur. Walau ikut bersedih hati, adiknya yang lain masih kecil-kecil tak tahu harus berbuat apa.
Sambil menangis, anak yatim ini menggendong adiknya ke luar rumah. Halimah ikut berjalan sampai ke depan pagar. Ia melihat kepergian dua anaknya itu dengan isak tangis yang menyuarakan nestapa tak tepermanai. Berjalan kaki, Rusli membawanya ke rumah sakit.
Dalam gendongan, adiknya mulai mengeluarkan cairan kotoran sampai berlepotan di punggung Rusli. Ia panik, lalu mempercepat langkahnya agar tiba ke rumah sakit. Berlari menggendong adik yang sudah remaja tanggung tentu sangat berat, apalagi jarak yang harus ditempuh mencapai enam kilometer. Namun, Rusli tak merasakan beban itu.
Di saat sedang berlari itu, ia bertemu dengan seorang warga kampung, Ayah Cek Daud, seorang supir bus di kampung itu. Tak tega melihat Rusli, ia mengeluarkan busnya dan membawa dua anak muda ini ke Rumah Sakit Umum Banda Aceh.
Rusli bertanya kepada dokter tentang jenis penyakit yang diderita Darmawan. Kata dokter, adiknya itu mengalami stres yang sangat tinggi. Mendengar penjelasan dokter, hati Rusli berkecamuk. Rasa sedih, bersalah, dan penyesalan menjadi satu. Hatinya berbisik, mungkin itu semua terjadi akibat ketidakmampuannya memenuhi permintaan adiknya.
Rusli tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kepada siapa harus meminta bantuan? Gejolak di dadanya yang menggelegak membuatnya tak mampu membendung air mata yang berderai di pipi. Ia hanya teringat bahwa kemiskinanlah yang membuatnya tidak mampu memenuhi harapan kecil sang adik. Ia hanya berserah diri kepada Allah, kepada yang Mahakuasa ia mengadukan nasibnya.
Sambil mendekatkan wajah ke telinga adiknya yang terbaring tidak sadarkan diri, Rusli memohon kepada Allah, “Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah kehidupan kepada adik saya walaupun hanya sebentar saja. Jangan Engkau ambil dulu nyawanya, saya rindu berbicara dengannya. Pada-Mulah tempat saya memohon pertolongan.”
Darmawan yang tak sadarkan diri hampir sepuluh jam mendadak terjaga. Perlahan ia membuka matanya dan memandangi wajah Rusli yang matanya sembab dan berair. Darmawan memberikan senyum yang lemah. “Saya tidak apa-apa, Bang. Saya tidak sakit, tetapi tidak tahu mengapa saya pening, mungkin saya akan pergi,” ujar Darmawan. Suaranya lemah dan lirih. Hanya satu kalimat itu yang didengar Rusli. Itu adalah suara dan senyuman terakhir adiknya. Ketika matahari terbenam, menjelang magrib, Darmawan meninggal dunia.
Ketika semua orang berdatangan menyampaikan belasungkawa, Rusli bermunajat kepada Allah. “Ya Allah, kalau Engkau berikan rezeki, maka apa yang dialami adik saya, jangan lagi dialami oleh anak yatim lainnya. Janganlah mereka mengalami pahit menjadi yatim sebagaimana yang saya alami.”
Sepeninggalan Darmawan, Rusli risau akan tanggung jawabnya kepada ibu dan lima adiknya. Darmawan merupakan tumpuan harapan membagi derita. Namun, setelah ia meninggal, beban itu harus sepenuhnya ditanggungnya sendiri entah sampai kapan.
Ia juga tiada habisnya menyesali diri sebab tak mampu mencari uang seribu untuk biaya ujian sekolah Darmawan. Dalam kondisi demikian, ia pun teringat akan sang ayah yang telah lama meninggal. Bayangan ayahnya, Bintang Amin, melintas di benaknya. Ia teringat pada nasihat-nasihat ayahnya agar ia bersabar dan tabah dalam menjalani hidup. Ia seakan-akan mendengar ayahnya berbisik agar jangan mengutuk kehidupan sebab Allah tak akan memberi cobaan melebihi dari batas kemampuan seseorang.
Sejumlah teman bercerita, sejak saat itu Rusli bertekad membantu anak-anak yatim. Maka, berbagai pekerjaan pun dilakoninya, mulai dari tukang pikul, pembersih kebun, hingga menjadi penyapu rumah.[] Bersambung kebagian tiga


Komentar