“BANG saya butuh uang seribu rupiah, besok saya mau ujian,”
pinta Darmawan yang sekolah di SMP Iskandar Muda. Darmawan adalah adik
kesayangannya. Ia menjadi harapan utama untuk membantu Rusli mencari rezeki
membantu keluarga. Sebab itu, ia berharap Darmawan mampu menyelesaikan
sekolahnya.
Rusli tercenung mendengar permintaan sang adik. Di masa itu,
tahun 1970, bukan perkara mudah bagi Rusli untuk mencari uang seribu rupiah.
Menyisihkan uang Rp1000 dalam sehari pun ia belum mampu. Kendati demikian,
Rusli tetap berjanji memenuhi permintaan adiknya itu. Maka, hari itu juga ia
mencari ke sana kemari, termasuk berupaya meminjam pada teman. Gagal. Lalu, ia
mencoba menjumpai kepala sekolah untuk meminta penangguhan waktu pembayaran
uang pendaftaran tersebut. Namun, nihil.
“Besok Darmawan seharusnya mengikuti ujian akhir SMP bersama
kawan-kawannya, tetapi apa daya saya tak mampu memberikan biaya,” hati Rusli
berbisik. Air matanya berlinang. Hari itu Rusli hanya mampu mencari rezeki
berupa satu bambu beras untuk keluarganya.
Menjelang magrib, Rusli pulang ke rumah. Ia melihat Darmawan
sedang turun dari tangga rumahnya hendak ke meunasah (surau). “Bagaimana Bang?”
Darmawan bertanya dengan suaranya yang sedikit rendah dengan nada berharap.
Mendengar pertanyaan adiknya, Rusli tercekat. “Jangan putus
asa, Dik! Tahun depan Adik ikut ujian. Abang belum mampu mencari uang yang Adik
perlukan,” ujar Rusli menguatkan hati. Suaranya parau. Darmawan mengangguk.
Dalam keadaan gelisah, Rusli meninggalkan rumah dan pergi
tidur bersama teman-temannya sekadar menghibur diri. Pada malam itu, Rusli
diliput rasa gelisah dan semakin lama semakin menjadi-jadi. Akhirnya, ia
putuskan pulang ke rumahnya pukul 23.00 WIB.
Secara bersamaan, adiknya yang tadi ke meunasah sedang
diantar teman-temannya dalam kondisi tidak sadarkan diri. Rusli terkesiap.
Darmawan digotong tidur di atas tikar di dalam rumah. Rusli memandangi adiknya
yang sedang sakit. Ia panik melihat Darmawan mulai muntah-muntah. Halimah,
ibunya, memandang mereka dengan hati yang hancur. Walau ikut bersedih hati,
adiknya yang lain masih kecil-kecil tak tahu harus berbuat apa.
Sambil menangis, anak yatim ini menggendong adiknya ke luar
rumah. Halimah ikut berjalan sampai ke depan pagar. Ia melihat kepergian dua
anaknya itu dengan isak tangis yang menyuarakan nestapa tak tepermanai.
Berjalan kaki, Rusli membawanya ke rumah sakit.
Dalam gendongan, adiknya mulai mengeluarkan cairan kotoran
sampai berlepotan di punggung Rusli. Ia panik, lalu mempercepat langkahnya agar
tiba ke rumah sakit. Berlari menggendong adik yang sudah remaja tanggung tentu
sangat berat, apalagi jarak yang harus ditempuh mencapai enam kilometer. Namun,
Rusli tak merasakan beban itu.
Di saat sedang berlari itu, ia bertemu dengan seorang warga
kampung, Ayah Cek Daud, seorang supir bus di kampung itu. Tak tega melihat
Rusli, ia mengeluarkan busnya dan membawa dua anak muda ini ke Rumah Sakit Umum
Banda Aceh.
Rusli bertanya kepada dokter tentang jenis penyakit yang
diderita Darmawan. Kata dokter, adiknya itu mengalami stres yang sangat tinggi.
Mendengar penjelasan dokter, hati Rusli berkecamuk. Rasa sedih, bersalah, dan
penyesalan menjadi satu. Hatinya berbisik, mungkin itu semua terjadi akibat
ketidakmampuannya memenuhi permintaan adiknya.
Rusli tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kepada siapa
harus meminta bantuan? Gejolak di dadanya yang menggelegak membuatnya tak mampu
membendung air mata yang berderai di pipi. Ia hanya teringat bahwa
kemiskinanlah yang membuatnya tidak mampu memenuhi harapan kecil sang adik. Ia
hanya berserah diri kepada Allah, kepada yang Mahakuasa ia mengadukan nasibnya.
Sambil mendekatkan wajah ke telinga adiknya yang terbaring
tidak sadarkan diri, Rusli memohon kepada Allah, “Ya Allah, ya Rabbi,
berikanlah kehidupan kepada adik saya walaupun hanya sebentar saja. Jangan
Engkau ambil dulu nyawanya, saya rindu berbicara dengannya. Pada-Mulah tempat
saya memohon pertolongan.”
Darmawan yang tak sadarkan diri hampir sepuluh jam mendadak
terjaga. Perlahan ia membuka matanya dan memandangi wajah Rusli yang matanya
sembab dan berair. Darmawan memberikan senyum yang lemah. “Saya tidak apa-apa,
Bang. Saya tidak sakit, tetapi tidak tahu mengapa saya pening, mungkin saya
akan pergi,” ujar Darmawan. Suaranya lemah dan lirih. Hanya satu kalimat itu
yang didengar Rusli. Itu adalah suara dan senyuman terakhir adiknya. Ketika
matahari terbenam, menjelang magrib, Darmawan meninggal dunia.
Ketika semua orang berdatangan menyampaikan belasungkawa,
Rusli bermunajat kepada Allah. “Ya Allah, kalau Engkau berikan rezeki, maka apa
yang dialami adik saya, jangan lagi dialami oleh anak yatim lainnya. Janganlah
mereka mengalami pahit menjadi yatim sebagaimana yang saya alami.”
Sepeninggalan Darmawan, Rusli risau akan tanggung jawabnya
kepada ibu dan lima adiknya. Darmawan merupakan tumpuan harapan membagi derita.
Namun, setelah ia meninggal, beban itu harus sepenuhnya ditanggungnya sendiri
entah sampai kapan.
Ia juga tiada habisnya menyesali diri sebab tak mampu
mencari uang seribu untuk biaya ujian sekolah Darmawan. Dalam kondisi demikian,
ia pun teringat akan sang ayah yang telah lama meninggal. Bayangan ayahnya,
Bintang Amin, melintas di benaknya. Ia teringat pada nasihat-nasihat ayahnya
agar ia bersabar dan tabah dalam menjalani hidup. Ia seakan-akan mendengar
ayahnya berbisik agar jangan mengutuk kehidupan sebab Allah tak akan memberi
cobaan melebihi dari batas kemampuan seseorang.
Sejumlah teman bercerita, sejak saat itu Rusli bertekad
membantu anak-anak yatim. Maka, berbagai pekerjaan pun dilakoninya, mulai dari
tukang pikul, pembersih kebun, hingga menjadi penyapu rumah.[] Bersambung kebagian tiga
Komentar