Tanggal 28 April 2003, hari
dimana proses perdamaian antara RI dan GAM gagal, setelah tanggal itu,
Pemerintahan Megawati memberikan waktu dua pekan bagi GAM untuk mengakhiri
perjuangan mereka menuntut merdeka dan menerima otonomi khusus. Namun, GAM
menolak tawaran tersebut.
Perundingan kedua belah pihak pun
memanas, karena tidak mencapai kata sepakat. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni
Eropa mendesak agar Indonesia dan GAM kembali ke meja perundingan.
Pertemuan Tokyo yang akan digelar
pada 17-18 Mei 2003 menjadi satu satunya harapan perdamaian Aceh. Namun, GAM
tetap bersikeras tidak menerima otonomi khusus. Tawaran ini kembali dipertegas
Pusat pada 16 Mei. “Otonomi khusus merupakan solusi akhir dan final bagi
penyelesaian konflik Aceh. Jika tidak, GAM akan menghadapi penyerangan
militer,” demikian ultimatum yang dikeluarkan Jakarta.
GAM tak menghiraukan ultimatum
Indonesia. Lima juru runding GAM yang hendak menuju ke Bandara Sultan Iskandar
Muda, ditangkap begitu keluar dari Hotel Kuala Tripa.
Tututan merdeka GAM, menelurkan
Keputusan Presiden No 28/2003 yang mengizinkan Aceh menjadi daerah perang. Aceh
berada di bawah kuasa militer.
Pukul 00.01 Wib, 19 Mei 2003,
Aceh mencekam. Laksana anak kecil yang baru saja di mahari oleh orang tuanya,
duduk disudut rumah sambil memeluk diri dan tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan pemberlakukan status
Darurat Militer.
Dampak pemberlakuan status
Darurat Militer di Aceh, 30.000 pasukan TNI dan 12.000 personel polisi dengan
izin presiden Megawati Soekarnoputri dikirim ke Aceh.
Ini pengerahan pasukan dan armada
perang terbesar Indonesia.
Sejak saat itu, Truk reo
berisikan pasukan bersenjata tempur hilir-mudik di jalan. Pesawat Bronco tak
ketinggalan. Setiap hari, operasi militer digelar. Kantung-kantung
persembunyian GAM diobrak-abrik. Tidak hanya menyerbu jalur darat, pasukan
pemerintah juga membombardir pegununan dan perbukitan yang diklaim sebagai
tempat bersembunyinya pasukan Gerakan Aceh Merdeka.
Aceh berubah jadi daerah perang.
Aktivis Sipil dan mahasiswa yang biasanya lantang berteriak menentang kebijakan
militeristik, saat itu dipaksa tiarap. Tak sedikit di antara mereka yang
ditangkap, Sisanya harus mengungsi, keluar dari Aceh.
Media saat itu tidak leluasa
menurunkan laporan apa adanya. Bahkan, Penguasa Darurat Militer Pusat Megawati
Sukarnoputri mengeluarkan Keppres No 43/2003 yang membatasi ruang gerak
wartawan.
Keputusan tersebut dijabarkan
oleh Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen Endang Suwarya, yang melarang
wartawan untuk memberitakan tentang:
(1) Kode khusus atau sandi
pasukan, pesawat, kapal serta kode atau sandi prosedur operasi tetap dan kode
perhubungan;
(2) Informasi rencana yang akan
datang, (3) Instansi militer tertentu yang ditentukan oleh komando operasi;
(4) Gambar daerah instalasi
militer;
(5) Informasi intelijen yang
berkaitan dengan kegiatan teknis, taktis dan prosedur internal;
(6) Informasi maupun propaganda
musuh.
Maklumat ini berimbas pada tidak
bebasnya wartawan dalam memberitakan berbagai kejadian di daerah perang. Nyaris
tidak ditemukan di halaman media massa –baik lokal dan nasional– soal kekejaman
yang ditimbulkan perang. Padahal, diperkirakan lebih 2.800-an orang tewas dalam
perang antara kurun 2003 hingga 2005.
Tidak hanya membatasi gerak
jurnalis, PDMD juga mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif pada Juni
2003. Kala itu, Endang Suwarya menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Aceh
untuk membekali diri dengan kartu tanda penduduk (KTP) Merah Putih. KTP khusus
warga Aceh ini berukuran sekitar 13 x 10 sentimeter. Di bagian muka berwarna
merah dan putih, lengkap dengan gambar Garuda dan isi Pancasila. Setelah
ditandatangani camat, KTP Merah Putih diverifikasi oleh komandan Koramil.
Pemberlakuan Darurat Militer
seharusnya berakhir pada 18 November 2003. Namun, Megawati memperpanjang status
perang itu hingga 18 Mei 2004 melalui Keputusan Presiden No 97/2003. Setelah
setahun lamanya, baru pada 19 Mei 2004 Presiden Megawati menurunkan status Aceh
menjadi Darurat Sipil. Status ini pun bertahan setahun, hingga akhirnya pada 15
Agustus 2005, Indonesia dan GAM bersepakat untuk mengakhiri konflik yang
terjadi sejak Desember 1976.
Semoga kedamaian ini terus berlanjut.
Jayalah negeriku.
Damailah Acehku.
Komentar