Tiba-tiba terdengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan meresmikan Tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Acara itu dirangkai dengan Silaturahim Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia, 24-25 Maret 2017, di Mandailing Natal. Kabar ini dipublikasi di situs Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (setkab.go.id).
Penentuan ini tentu tidak jatuh
begitu saja. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kabarnya ikut mendukung program
Barus sebagai pusat masuknya Islam pertama di Nusantara.
Rekonstruksi sejarah atau
etnografis?
Tentu penetapan Barus sebagai
titik awal Islam di Nusantara akan melahirkan perdebatan terkait basis
ilmiahnya. Jika digunakan pendekatan sejarah, yaitu pengetahuan rekonstruksi
masa lalu yang berpegang pada obyektivitas dan fakta ilmiah, ia terikat pada
metodologi yang ketat menurut sejarawan. Tentu juga harus diingat nasihat
sejarawan Inggris, RG Collingwood, fakta sejarah tidak pernah akan sampai
kepada kita secara murni. Dia selalu memiliki bias di dalam pemikiran para
perekamnya, termasuk upaya sejarawan menuliskannya.
Dari sisi rekonstruksi sejarah,
arus utama tentang sejarah mula Islam Nusantara menyebutkan Samudera Pasai
sebagai kerajaan Islam pertama. Kerajaan ini merupakan gabungan dua kerajaan
Hindu, yaitu Samudra dan Pasai, dengan Raja Meurah Silue yang kemudian bergelar
Malik as-Salih (1267-1297) {Muhammad Said, 1981; Anthony Reid (ed), 1995;
Robert Pringle, 2010}.
Pengukuhan Pasai sebagai
peradaban Islam Melayu pertama di Nusantara juga terjadi dalam dua momentum
seminar nasional, yaitu 17-20 Maret 1963 di Medan dan 10-16 Juli 1978 di Banda
Aceh. Bahkan, dalam seminar ditemukan juga dalil-dalil tentang jejak kekuasaan
Pasai sejak abad ke-11.
Salah satu dokumen tertua tentang
keberadaan Kerajaan Pasai ditulis oleh pelancong Venesia, Marco Polo, yang
masih sempat bertemu dengan Sultan Malik as-Salih (1292). Kesaksian etnografis
Marco Polo tentang Pasai dan tujuh ”kerajaan” lainnya di Sumatera (hanya enam
yang sempat disinggahinya) memiliki kesan berbeda. Ia menyiratkan Pasai yang
terbesar. Penyebutan Perlak adalah tempat pertama yang ia jelajahi. Selain
Pasai dan Perlak yang Muslim, kerajaan lain dikatakan masih menganut agama
pagan dan bertradisi kanibal (Reid, Sumatera Tempo Doeloe, 2010: 8-10).
Beberapa bukti arkeologis seperti
ingin mencecar tentang kesahihan Pasai sebagai kerajaan tertua Islam Nusantara.
Ada upaya untuk menjadikan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama dengan
menggunakan pseudofakta, yaitu makam berpenanggalan 840 M. Demikian pula
memajukan Barus sebagai kerajaan tertua Islam di Nusantara dengan dalil bahwa
pedagang Muslim telah masuk di daerah ini sejak abad pertama Hijriah atau abad
ke-7 M (625-642 M), tapi tidak memiliki bukti arus utama sejarah.
Tak kunjung berhasil
Saya pernah menjadi pembahas
riset Kerajaan Perlak oleh sebuah tim perguruan tinggi di Langsa, beberapa
tahun lalu. Hasil riset itu tak kunjung berhasil menunjukkan dokumen valid
bahwa Perlak telah berdiri sebagai sebuah pemerintahan dibandingkan dengan
sekadar komunitas etnis-agama. Hal ini tentu berbeda dengan Kerajaan Pasai yang
telah dikenal memiliki pemerintahan yang relatif modern, penggunaan mata uang
emas pertama di kerajaan Islam Asia Tenggara, kekuatan kemiliteran, juga
hubungan perdagangan dan politik internasional (Teuku Ibrahim Alfian, Wajah
Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999: 3-4).
Selama ini, peneguhan orbit
selain Pasai dilakukan tidak dengan pendekatan historis, tetapi etnografis,
yaitu melalui sejarah tuturan. Masyarakat di sana (Perlak dan Barus) memercayai
bahwa daerah merekalah yang menjadi titik awal Islam, bukan Pasai.
Sebenarnya penggunaan sejarah tuturan
demi mengungkap kebenaran masa lalu sah ketika tidak ada upaya lain untuk
membongkar bangunan borjuisme sejarah (Paul Thompson, Oral History : Voice of
the Past, 2000: 28). Namun, penentuan sejarah Pasai tidak terjadi dalam ruang
politik, tapi pembuktian saintifis. Antropolog pada era kolonial, seperti
Snouck Hurgronje dan sejarawan Jean Pierre Mouquette, ikut menunjukkan
bukti-bukti keberadaan Kerajaan Pasai sebelum ditaklukkan Kerajaan Aceh pada
1524.
Pasai layu, Barus mekar
Meski demikian, bukan berarti
Barus tidak penting dalam sejarah Nusantara. Kota tua Barus telah dikenal di
Timur Jauh, Eropa, dan Afrika Utara berabad- abad sebelum Masehi serta menjadi
pelintasan penting perdagangan kamper, kemenyan, cendana, dan emas. Kota
metropolis Sumatera itu mencapai puncaknya pada abad ke-10, kemudian terus
menurun menjadi hanya kota kecamatan lusuh dan sepi (Kompas, 1 April 2005).
Namun, bukti-bukti arkeologis
pertama Barus tidak merujuk pada khazanah Islam. Jauh sebelum Islam, Barus
telah dikenal sebagai asal daerah Batak Toba. Pada abad ke-11, berdasarkan
penelitian epigrafi dan arkeologi, terkuak fakta makam-makam Hindu berbahasa
Tamil di daerah ini (Claude Guillot, 2002). Makam-makam ulama di Papan Tenggi
yang berpenanggalan abad ke-13 terjadi pada fase lain, ketika Barus mulai sepi
sebagai kota perdagangan dunia.
Sejak Kerajaan Pasai melemah dan
redup pada akhir abad ke-15, poros peradaban dan sastra Melayu akhirnya pindah
ke pantai barat-selatan, yaitu wilayah Barus dan Singkil. Di daerah inilah dua
hal berkembang secara bersamaan, yaitu filsafat Islam wujudiyah dan
kesusastraan Melayu.
Tokoh utama sejarah Melayu dari
Barus adalah Hamzah al-Fansuri yang diperkirakan lahir 1570-an dan meninggal
pada 1630-an. Fansur sendiri berarti ’kapur barus’. Dulunya daerah Barus masuk
wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain yang lahir 120 kilometer dari Barus
(Singkil) ialah Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615-1693).
Berbeda dengan pengembangan Islam
di wilayah Pasai yang berporos pada fikih mazhab Syafi’iyah, Barus dan Singkil
menjadi tempat bersemainya gagasan tasawuf, terutama tarekat sattariyah.
Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi katalisator berkembangnya Islam
toleran, inklusif, dan progresif. Berkembangnya tradisi zikir dan suluk di
Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran sufisme dari Barus dan Singkil.
Meski demikian, ada hal yang
masih menghubungkan antara Pasai dan Barus. Karya-karya tokoh tasawuf, seperti
Syarab al-’Asyikin, Mir’atul Thulab, Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin
Suluk Maslak al-Mufridin dituliskan dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab yang
diserupakan dengan bahasa Pasai.
Gagasan pengembangan Islam
Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kesusastraan Melayu Pasai pada abad ke-13
hingga ke-14. Ini merupakan pembabakan perkembangan sastra Melayu Islam pertama
di dunia atau perkembangan kedua setelah sastra Melayu Buddha di Sriwijaya pada
abad ke-7 hingga ke-13 (Abdul Hadi WM dalam Sardono, 2005).
Akhirnya, secara genealogis,
Islam Nusantara tidak boleh melupakan Pasai sebagai titik air pertama peradaban
Islam-Melayu, bukan sekadar replikasi ”agama Mekkah” yang dibawa
pedagang-pelawat India, Arab, dan China.
Akan tetapi, jika yang
dimaksudkan di sini adalah Islam sufisme, tepatlah menyebut Barus tanpa
mengecilkan Singkil.
Teuku Kemal Fasya
Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh; Antropolog Aceh
Komentar