Salah satu alasan kami memilih buka puasa di rumah dari pada
di luar ialah "style" keluarga kami yang kampungan. Memakai kain
sarung saat menyantap juadah adalah kebiasaan turun temurun, bukan
"pentalun".
Gaya sarungan ini tidak mungkin dilakonkan kalau berbuka di
acara undangan, di resto atau di hotel. Juga "tertib acara" berbuka.
Dari kecil langsung dengan makanan utama: nasi. Kue muweh urutan belakangan,
setelah shalat magrib ditunaikan.
Maka berbelanja kebutuhan di bulan puasa lebih penting
berburu ikan di pasar daripada makanan dan minuman.
Selain itu ada menu wajib yang tak pernah absen ialah
"sambai on peugaga" hasil racikan Nyonya. Tiada hari tanpa on
peugaga. Ketika kecil di kampung saya belajar menikmati on peugaga yang diracik
nenek.
Untuk menjamin tersedianya bahan baku kami anak anak
diarahkan untuk memetik on peugaga di pematang sawah atau kebun pada pagi hari
sebelum mentari memperlihatkan kegarangannya. Bahan baku lain seperti kelapa
dan bumbu memang sudah tersedia.
On peugaga yang tumbuh secara liar konon memiliki khasiat
untuk menjaga kadar gula dan tensi darah, lambung, mencegah bau mulut, dan
menekan libido selama Ramadhan.
Hidup di kota dengan selera desa. Kampungan, memang! Sebab,
bagi kami, ketersediaan sambai on peugaga lebih pada tradisi dan selera.
Apalagi menu utama berbuka adalah nasi dan kopi. Kalaupun ada kue, ya berkisar
pada timphan, boh rom rom, bada, kulak, dan ie bu kanji.
Sambai on peugaga hilang dalam tradisi, meski kearifan nenek
morang alias indatu sering kita puji-puji.
Komentar