Kronologi Pembantaian
Kamis 22 Juli 1999
Pasukan TNI yang terdiri dari Kostrad, Brimob, dan lain sebaginya mendirikan tenda-tenda diseputar pegunungan Beutong Ateuh. Saat itu warga desa telah mengetahui akan keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan dari didirikannya tenda-tenda tersebut. Pada saat itu juga telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang. Peristiwa ini mengakibat satu orang terluka sedangkan yang lainnya melarikan diri ke hutan sekitarnya.
Jum'at 23 Juli 1999
-Pukul 08.00 pasukan TNI mengamati Pesantren Teungku Bantaqiah dari seberang sungai.
-Pukul 09.00 pasukan TNI melakukan pembakaran rumah penduduk yang letaknya kira-kira 100 meter disebelah Timur Pesantren Teungku Bantaqiah.
-Pukul 10.00 Pasukan tersebut mulai mendekati Pesantren Teungku Bantaqiah.
-Pukul 11.00 Pasukan TNI yang berseragam dan mengenakan senjata lengkap dan sebagian dari mereka menutupi wajahnya dengan cat hitam dan hijau. Mulai memasuki wilayah Pesantren.
-Pukul 11.30 Pasukan tersebut dengan mencaci maki dan menghujat Teungku Bantaqiah agar Teungku Bantaqiah mau segera menemui mereka. Dikarenakan pada waktu itu hari Jum'at dan sudah menjadi kebiasaan di Pesantren, para santri - berkumpul di Pesantren yang memiliki dua lantai yang terbuat dari papan dan kayu balok tetap melakukan seperti biasanya. Setelah cukup lama Teungku Bantaqiah turun bersama dengan seorang muridnya untuk menemui pasukan tersebut. Setelah berbincang-bincang, semua murid/santri laki-laki disuruh turun sedangkan yang wanita diatas Pesantren, dikumpulkan ditanah lapang dengan duduk jongkok dan menghadap kesungai.
-Pukul 12.00 setelah santri laki-laki berkumpul, pimpinan pasukan tersebut meminta kepada Teungku Bantaqiah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena Teungku Bantaqiah merasa tidak pernah memiliki senjata yang mereka maksud, maka Teungku Bantaqiah hanya membantah tuduhan tersebut. Namun dengan pengakuan Teungku Bantaqiah tentara tidak puas dan lalu mereka mempersoalkan sebuah antenna radio pemancar yang terpasang pada atap Pesantren. Lalu pimpinan pasukan tersebut memerintahkan agar segerap melepaskan antenna tersebut dengah menyuruh putra Teungku Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren.
Sebelum Usman menaiki atap pesantren tersebut ia menuju rumah untuk mengambil peralatan, namun sebelum mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul para santri, seorang pasukan memukul Usman dengan senjata api. Melihat perlakuan ini, Teungku Bantaqiah mencoba untuk mendekati putranya tersebut. Bersamaan dengan mendekatnya Teungku Bantaqiah ke tempat pemukulan tersebut, dengan aba-aba tentara menembak Teungku Bantaqiah dengan menggunakan senjata pelontar BOM sehingga tersungkurlah Teungku Bantaqiah, setelah itu tembakan beruntun ditujukan ke arah kumpulan santri. Tanpa perlawanan sama sekali pasukan ini menembak dengan membabi buta sehingga santri yang jumlahnya mencapi puluhan orang itu tewas dan terluka.
Setelah penembakan yag dilakukan berulang ulang ini, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan disebelah rumah Teungku Bantaqiah. Beberapa saat kemudian dengan dalih akan membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka atau tidak sama sekali diangkut dengan menggunakan truk menuju Takengon Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Ditengah perjalanan menuju Takengon tersebut, santri-santri ini pada kilometer 7 diturunkan dan diperintahkan untuk duduk jongkok ditepi jurang. Setelah jongkok satu orang dari para santri ini terjun ke dalam jurang masuk kedalam hutan yang lebat. Mengetehui salah santri terjun ke jurang santri yang langsung di tembak beruntun oleh pasukan pengalawalan ini.
-Pukul 16.00 pasukan dengan memerintahkan warga setempat untuk menguburkan Teungku Bantaqiah dan murid. Sedangkan santri wanita dan istri-istri almarhum dibawa menuju Musholla yang berada diseberang sungai. Setelah penguburan usai, wanita tersebut disuruh kembali ke pesantren.
-Keadaan terakhir: pesantren ini sulit untuk dapat melanjutkan aktivitas keshariannya mengingat saran dan prasarana antara lain kitab-kitab berserta Al-qur'an yang tersedia telah habis terbakar bersamaan dengan tewasnya Teungku Bantaqiah beserta sebagian muridnya.
Sebagai akibat penembakan oleh pasukan TNI terhadap warga Pesantren tersebut. Dimana mereka ?
Hasil dari operasi yang dilakukan oleh TNI terhadap Pesantren Teungku Bantaqiah ini masih menyisakan berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab. Sehingga warga Meulaboh atau Aceh Barat menjadi resah. Keresahan ini sangat beralasan sebab bagaimana mungkin seorang ulama ternama dapat dicabut nyawanya oleh TNI tanpa prosedur, apalagi mereka rakyat biasa, tentunya lebih gampang lagi melakukannya. Begitu kira-kira alasan mereka. Dari hasil penelitian warga setempat, masih belum jelas jumlah yang tewas, sebab menurut saksi, masih banyak dari murid-murid Bantaqiah sampai saat ini belum ditemukan makamnya atau keberaaanya.
Komentar