Aktor- Aktor konflik Di Aceh

·         GAM (Gerakan Aceh Merdeka)

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibawah komando Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 December 1976, yang menandakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Berbeda dengan gerakan DI/TII tahun 1950an yang bertujuan untuk merubah Indonesia menjadi sebuah Negara islam, GAM bertujuan untuk memisahkan diri dan merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ideologi mainstream yang digunakan pihak GAM adalah melihat dari sudut pandang sejarah bahwasanya Aceh tidak pernah dijajah oleh Belanda secara keseluruhan dan tidak legal, dan kepemimpinan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada belanda dan kemudian di transfer kepada Indonesia. Berbeda dengan pemerintahan kerajaan di pulau jawa, wilayah kesultanan di Aceh tidak serta merta dapat ditransfer secara bulatbulat kepada pihak penjajah apabila kekuasaaan Sultan telah ditangkap. Sebab, ajaran Islam dan adat Aceh mengharuskan untuk mempertahankan tanah yang memang haknya masing-masing (tanah adalah milik perseorangan/dan milik Allah dan bukan milik sultan, sultan hanya mengelolanya untuk kemashlahatan ummat). Hal ini melandasi kuatnya resistensi bangsa aceh dalam mempertahankan tanahnya dari penjajahan bangsa asing. Kemudian, setelah Jepang meninggalkan Aceh pada tahun 1945, terjadi perebutan kekuasaan antara golongan ulama dan uleebalang yang ingin mengembalikan Belanda ke Aceh, setelah pada masa pendudukan Jepang, kekuasaan feudal mereka dipangkas oleh otoritas Jepang di Aceh pada periode 1942-1945. Kemudian, pada masa agresi Belanda pertama dan kedua, Belanda tidak dapat menguasai Aceh setelah semua bagian Indonesia dikuasai oleh mereka. Namun, dalam perjanjian Linggarjati 1948 setelah agresi militer tersebut yang menjadikan Indonesia sebagai bagian daripada Commonwealth Belanda, nama Sumatra (termasuk Aceh) juga dimasukkan ke dalam kekuasaan Belanda yang di transfer kepada Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Belanda mentransfer Aceh kepada Indonesia, sedangkan Belanda tidak memiliki hak atas Aceh? Hal ini yang menjadi landasan berfikir pihak GAM berontak dan ingin merdeka dari Indonesia. Dalam beberapa dokumen yang dikeluarkan oleh pihak GAM atau ASNLF, mereka menggunakan dalih Successor state, yang merupakan sebuah institusi Negara yang telah dibangun sebelumnya oleh para “endatu” (nenek moyang) sebagai landasan untuk merdeka.
Dengan dalih Successor state ini, pihak GAM merasa memiliki dasar hukum internasional yang dapat dipergunakan untuk merdeka, sesuai dengan; Resolusi PBB, 1514-XV, 14 December 1960; Resolusi PBB, 2625-XXV, 14 December 1960; Resolusi PBB, 2621-XXV; Resolusi PBB, 3314-XXIV; Piagam PBB p. 1, ayat 2 dan 55; Putusan Majelis Umum PBB, 12 October 1970, no. 2621-XXV.75

·         Pemerintah Indonesia

Sejak lahirnya GAM pada tahun 1977, Aceh beberapa kali ditetapkan sebagai daerah operasi keamanan. Termasuk di antaranya 4 kali operasi keamanan sejak masa orde baru dan 2 kali setelah orde baru.
Pada masa orde baru, bentuk operasi dilancarkan pemerintah Indonesia/militer Indonesia adalah melalui pendekatan militer dan intelijen. Hal ini tampak dari dua operasi besar yaitu operasi intelijen Nanggala (1977-1979) dan operasi Jaring Merah (1989-1998) atau yang sering disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Pemerintah Indonesia seringkali mengatakan bahwa hal ini merupakan sebuah “pendekatan keamanan” yang ditujukan untuk menghapus separatism di Aceh. Operasi keamanan ini dapat dikatakan sukses dalam meminimalisir kekuatan GAM, namun di lain pihak gagal dalam mengakomodir penyelesaian akan sumber-sumber konflik yang muncul sebelum dan seiring dengannya. Berbagai pendekatan yang lebih diplomatis seperti mengadakan dialog dengan masyarakat, negosiasi politik atau bernegosiasi dengan separatis GAM secara langsung, tidak pernah terlintas dalam pemikiran elit Jakarta. Upaya-upaya untuk menyelesaikan keluhan-keluhan ekonomi dan politik di Aceh terjerembab, dengan kebijakan-kebijakan ekonomi sentralistik, korupsi, in-kompetensi masyarakat, dan kepercayaan akan otonomi daerah akan menjurus kepada bentuk federasi kemudian disintegrasi.
Setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998 dan disintegrasi Timor Timur tahun 1999, arus tekanan internasional akan pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi-jadi. Pengaruhnya, hal ini memaksa pemerintah Indonesia untuk merubah pola pendekatan keamanannya kepada tiga langkah utama:
  1. Adanya perubahan sikap Jakarta dalam pendekatannya terhadap Aceh untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan. Selain itu, adanya seruan oleh komando militer untuk tidak menggalakkan penggunaan kekerasan yang melanggar HAM terhadap masyarakat sipil. Hal ini terlihat ketika pemerintah pusat mulai membentuk komisi nasional tentang HAM (Komnas HAM), dan komisi khusus untuk menginvestigasi pelanggaran HAM (Tim Pencari Fakta-Dewan Perwakilan Rakyat, TPF-DPR) yang telah terjadi di Aceh. Selain itu, usaha untuk membawa anggota militer ke pengadilan juga mulai dilakukan walaupun dirasa sangat tidak adil bagi masyarakat sebagai korban, salah satunya adalah pengadilan koneksitas atas kasus pembantaian Tengku Bantaqiah.
  2. Adanya perubahan dimensi politik dalam strategy pemerintah Indonesia sehingga menawarkan solusi bagi perdamaian aceh berupa otonomi daerah dan memulai negosiasi dengan GAM.
  3.  Militer Indonesia berusaha berubah untuk lebih professional. Selain dari kejatuhan citra militer di mata masyarakat Indonesia, desakan-desakan masyarakat untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislative dengan militer akhirnya perlahan diterapkan setelah era orde baru runtuh. Training terhadap para anggota militer juga mulai diinduksikan dengan pemahaman tentang HAM. Penggunaan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC), battalion Raider, dan teknologi yang efektif juga dimaksimalkan dalam operasi keamanan di Aceh pasca 1998. Hal ini ketara dirasakan dalam Operasi Pemulihan Keamanan dan Penegakan Hukum (Darurat Militer) 2001- 2002 dan Operasi Terpadu (Darurat Sipil) 2003-2004. Berbeda dengan pendekatan militer era Soeharto, operasi keamanan ini awalnya dicanangkan menggunakan strategy counter-insurgency ala klasik yang menggunakan pendekatan militer dan non-militer di dalamnya yang bertujuan untuk mengurangi kapasitas pemberontak dengan menjauhkan pemberontak dengan basis support-nya, menghancurkan infrastruktur fisik pemberontak, melemahkan komunikasi politik , upaya mitigasi terhadap keluhan masyarakat, berusaha bekerja sesuai koridor hokum, terutama memenangkan hati dan pikiran masyarakat. Di level grassroot, biasanya strategi ini termasuk technical assistance, bantuan ekonomi, propaganda dan penggunaan pasukan militer kecil yang lebih efisien untuk melawan pasukan gerilya. Di level nasional, strategy yang ditempuh biasanya memberikan technical assistance kepada pasukan militer dan pengerahan pasukan konvensional dalam skala besar ke daerah operasi. Namun banyak yang menilai tidak ada perubahan pendekatan yang dilakukan oleh militer dibandingkan pada masa DOM dahulunya.

Memang, strategy militer tersebut sebagian besar diterapkan dalam operasi militer di Aceh. Namun, retorikanya bahwa sulit memisahkan antara masyarakat dan anggota GAM, menjadi tantangan terbesar pemerintah dalam memenangkan hati dan pikiran masyarakat Aceh. Apalagi penggunaan kekerasan yang brutal oleh militer dalam melakukan operasinya pada masyarakat pada akhirnya juga menggagalkan pendekatan non-militer seperti: revitalisasi ekonomi, membangun kembali pendidikan dan kesehatan masyarakat, mengurangi pengangguran dan mengembalikan hokum positif yang hakiki ke tanah Aceh. Namun di lain hal, salah satu kesuksesan pihak militer Indonesia dalam strategi ini adalah membangun basis perlawanan rakyat (Wanra) layaknya dalam system pertahanan rakyat semesta (siskanhamrata). Dalam operasi jaring merah, militer membangun organisasi-organisasi sipil seperti Laskar Rakyat, Ksatria Unit Penegak Pancasila, dan lain-lain, yang diberikan pelatihan militer, senjata, dan diperintah untuk memburu GAM. Strategy ini dinilai efektif dalam; mengumpulkan informasi tentang GAM; meningkatkan perlawanan terhadap GAM dengan menginduksi dari sisi pendidikan, menyebarkan propaganda, menurunkan tingkat ketakutan masyarakat dengan membentuk kelompok anti-GAM, dan; membantu operasi keamanan para anggota militer dengan kegiatan-kegiatan seperti ronda malam, membangun barikade, dan patroli.

Sumber : buku Menulis Kembali Sejarah Konflik Aceh

Sepenggal Fragmen Masa Lalu untuk Masa Depan

Komentar