Untuk meredakan konflik antara
DI/TII dan Pemerintah Indonesia yang terjadi pada tahun 1953 hingga 1960, Aceh
mendapatkan status daerah keistimewaan9 yang disetujui oleh pemerintah
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari peran Ali Hasjmy dan Kolonel Sjamaun
Gaharu yang mendekati Daud Beureueh untuk berunding memikirkan masa depan Aceh
saat itu.10 Namun, sejak era Soharto berkuasa (1966-1998), birokrasi Indonesia
semakin tersentralisasi. Hal ini membuat Aceh kehilangan hak untuk
mengendalikan pembangunan politik, ekonomi, bahkan budayanya sendiri.
Pendekatan Soeharto yang seringkali repressif, membuat daerah yang rentan
konflik seperti Aceh, terbagi dalam beberapa wilayah yang dikomando oleh
komando militer dalam tiap-tiap level administrativenya.11 Hal ini berpengaruh
besar dalam control pusat terhadap pemerintahan dan sumber daya alam yang ada
di Aceh.
Pada dasarnya, Provinsi Aceh di
desain sebagai daerah pertanian, namun penemuan cadangan minyak dan gas bumi
pada tahun 1969 menginisiasi perjanjian kerjasama antara Pertamina (perusahaan
minyak Negara), Mobil Oil (perusahaan minyak milik Amerika Serikat), dan
perusahaan minyak milik Jepang untuk mengelola ladang gas Arun yang terletak di
Aceh Utara. Dalam beberapa tahun setelah itu, Aceh memberikan kontribusi hampir
30% pemasukan dari export nasional yaitu sebanyak 3 trilliun US Dollar.13
Selain itu, industri ini juga menginisiasi pembangunan perusahaan-perusahaan lainnya
seperti PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. ASEAN Aceh Fertilizer, PT. Kraft Aceh, dan
perusahaan besar lainnya. Belum lagi pemasukan dari sumber daya alam lainnya
seperti hasil hutan yang memiliki pendapatan rata-rata 1 trilliun rupiah per
tahun.14 Ironisnya, kekayaan alam yang melimpah tidak memberikan efek yang
signifikan terhadap pembangunan di daerah ini. Hanya kurang dari 5% dari hasil
kekayaan SDA ini yang kembali ke Aceh.
Selain itu, massifnya migrasi ke
daerah industry yang berpusat di daerah utara Aceh ini juga membawa dampak
buruk terhadap kondisi social di Aceh. Masuknya “orang luar” ke Aceh juga
membuat semakin minimnya peluang orang Aceh untuk bekerja di industri-industri
ini16 dan berkurangnya penguasaan lahan bagi masyarakat Aceh sendiri. Mungkin
hal ini yang menginisiasi Anekdot lokal “buya krueng teu dong-dong, buya tamong
meuraseuki” (buaya sungai hanya berdiri-berdiri saja, buaya luar yang mendapat
rezeki) yang bermakna, orang local hanya berdiam diri tanpa merasakan sumber
daya yang ada di daerahnya sendiri, sedangkan orang luar yang mengambil
manfaatnya. Selain itu, menurut Hamid (2006) efek dari program Transmigrasi ini
juga berpengaruh terhadap tumbuhnya industry dunia malam dan prostitusi sebagai
permintaan dari migrasi pekerja industry di daerah ini.
Ketidakadilan terhadap distribusi
pendapatan daerah dengan pusat, ketidaksenangan masyarakat Aceh akan
implementasi daerah keistimewaan akan syariat islam yang tidak kunjung
terealisasi, serta kesenjangan ekonomi dan social masyarakat yang kian
terpuruk, menjadi underlying causes mulainya pemberontakan Aceh jilid II.
Gerakan Aceh Merdeka dibawah komando Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan
Aceh pada tanggal 4 December 1976, yang menandakan perlawanan terhadap
pemerintah Indonesia.18 Berbeda dengan gerakan DI/TII tahun 1950an yang
bertujuan untuk merubah Indonesia menjadi sebuah Negara islam, GAM bertujuan
untuk memisahkan diri dan merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah deklarasi kemerdekaan
Aceh, anggota GAM menjadi sasaran utama pemerintah pusat. Pada saat itu, GAM
disebut sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Hal ini menjadi sebuah langkah
propaganda pemerintah untuk membendung pengaruh GAM kepada masyarakat luas.20
Saat itu pula, pemerintah pusat menggelar operasi militer untuk menekan gerakan
ini, membersihkan dan memenjarakan para pentolan GAM, bahkan termasuk Tengku
Daud Beuereueh yang dianggap sebagai ulama dan pemimpin karismatik Aceh yang
dapat memperluas dan memperburuk situasi keamanan di Aceh.21 Operasi militer
ini dilanjutkan hingga tahun 1982, dan berbagai penangkapan terkait dengan GAM
terjadi hingga 1984.22 Setelah itu, aktifitas GAM terhenti akibat masih
kurangnya popularitas gerakan yang masih infant ini di kalangan masyarakat
Aceh. Lagipula saat itu, lahan industry besar baru tumbuh dan berkembang, dan
kesenjangan akibat distribusi kekayaan alam yang kurang merata belum dirasakan
oleh masyarakat Aceh umumnya, sehingga belum memberikan dukungan kepada pihak
GAM.
Dengan terhentinya aktifitas GAM
ini, tidak berarti GAM telah tamat riwayat. Hasan Tiro dan para pentolan GAM
lainnya berhasil menyelamatkan diri dengan mencari suaka ke Negara lain dan
membentuk pemerintahan Aceh di pelarian. Para kombatan muda juga berangkat ke
Libya, Afghanistan dan Negara-negara lain untuk mendapat pelatihan militer agar
bersiap dalam pergerakan-pergerakan GAM selanjutnya. Salah satunya, sekitar 600
– 1000 gerilyawan GAM mendapatkan pelatihan militer di Libya dalam periode ini.
Secara umum, periode akhir 1970an
dan 1980an merupakan periode dimana terjadinya pertumbuhan ekonomi Aceh yang
signifikan di berbagai sector. Gross Domestic Product (GDP) Aceh dari sector
pertanian mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 7,6% pada tahun
1975-1984, dan turun pada kisaran di bawah 5% pada tahun 1984-1989. Sector
manufaktur tumbuh pada kisaran rata-rata 13,7% pada tahun 1975-1984, dan turun
pada kisaran 8% pada tahun 1984-1989. Yang paling besar adalah ledakan ekonomi
dari sektor migas yang pada awalnya kurang dari 17% pada tahun 1976, dan pada
medio 1989 meningkat hingga 69,5% dari GDP daerah. Berkat tren positif ini,
pendapatan Aceh per capita (tanpa pemasukan dari sektor migas) terus meningkat
dan stabil.
Ironisnya, pertumbuhan ekonomi
yang signifikan ini juga menjadi salah satu penyebab kesenjangan ekonomi yang
akhirnya menyebabkan kebangkitan kembali GAM pada tahun 1989. Dalam periode
1974-1987, kabupaten Aceh Utara (yang didalamnya terletak ladang gas alam PT.
Arun, dan Mobil Oil) mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan dari
490.000 jiwa menjadi 755.000 jiwa. Perbandingan fasilitas social dan
infrastruktur bagi para pekerja, dan bagi para pencari kerja ) job-seekers dan
penduduk local sangat berbeda, mewah dan buruk, kaya dan miskin, dan hal ini
tentunya menimbulkan kesenjangan social yang sedemikian parahnya apabila di
sebuah wilayah yang sama memiliki kompleks perumahan elit yang tertata rapi dan
dibalik pagar kompleks perumahan tersebut berserakan gubuk-gubuk reot yang
tinggal menunggu rubuh. Selain itu, masuknya 50.000an ribu migran dari berbagai
wilayah di Indonesia menambah ketatnya kompetisi ekonomi di daerah ini.
Alhasil, urbanisasi yang besar, serbuan para pendatang ke tanah Aceh,
penguasaan tanah oleh para pendatang, polusi yang diakibatkan industry-industri
besar, dan ketatnya kompetisi di sector industry yang sering mendiskreditkan masyarakat
Aceh, pada akhirnya berkontribusi dalam meningkatkan kondisi objektif yang
memfasilitasi kebangkitan GAM pada tahun 1989.
Selain itu, kepulangan para
kombatan GAM generasi pertama dari Libya dan Negara-negara islam lainnya
memperjelas intensifikasi GAM melawan pemerintah Indonesia. Saat itu GAM juga
mendapatkan support dari polisi/militer dan pegawai negeri yang desersi dari
dinas akibat tindakan oppressive pemerintah dalam memenangkan partai Golkar
dalam Pemilu 1987.
Serangan awal terjadi pada akhir
Mei 1989, ketika pejuang GAM menyerang dan menembak mati 2 orang anggota TNI
(Tentara Nasional Indonesia) di daerah Tiro dan merampas senjatasenjata mereka.
Serangan lain juga terjadi pada tanggal 26 September 1989, hingga awal tahun
1990 terutama di 3 kabupaten seperti Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur.
Serangan-serangan ini masih bersifat sporadic, dan strategi utama dari serangan
GAM kali ini masih terbatas kepada perampasan senjata dari anggota TNI. Pada
periode ini GAM masih menghadapi permasalahan kekurangan senjata menghadapi
militer Indonesia yang lebih superior.
Bangkitnya kembali GAM sejak
tahun 1989, meningkatkan kewaspadaan bagi pemerintah seiring meluasnya
popularitas GAM di mata masyarakat Aceh. Untuk menghancurkan GAM dan melindungi
kepentingan ekonomi Negara, pemerintah pusat meningkatkan kekuatan politik
militernya dengan mendesain Aceh dalam operasi militer, terutama daerah utara
dan timur Aceh, yang terkenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun
1989 hingga 1998.
Bagaimanapun respon pemerintah
terbilang sukses dalam mengatasi kebangkitan GAM walaupun hanya dalam jangka
waktu yang pendek. Pada akhir tahun 1991, banyak dari panglima GAM tertangkap
dan terbunuh. Namun, mekanisme militer yang brutal menghasilkan antipati
masyarakat mendalam terhadap pemerintah pusat. Ross (2003) memperkirakan selama
tahun 1990-1992 jumlah kematian karena konflik di Aceh mencapai 2.000 hingga
10.000 jiwa. Persoalannya, bukan hanya anggota GAM yang menjadi korban, namun
juga masyarakat sipil yang dilindungi oleh UUD 1945 dan Konvensi Jenewa 1949.
Pembunuhan, penghilangan paksa, pemerkosaan dan aksi kekerasan lainnya yang
dilakukan oleh pihak TNI dan GAM dalam menyebarkan ketakutan dan rasa
ketidakamanan, telah menjadi konsumsi sehari-hari rakyat Aceh pada saat itu.
Selain itu, 43 pencari suaka yang lari dari kebrutalan militer ke kantor UNHCR
di Malaysia menarik perhatian masyarakat nasional dan internasional, terutama
para pembela HAM. Hal yang menarik lainnya, Hasan Tiro pernah melakukan lobby
terhadap kemerdekaan Aceh di level internasional, dengan mengirimkan laporan
kepada Human Rights Commission sesi ke 48, dan UN Sub-Commission on Prevention
of Discrimantion and Protection of Minorities sesi ke 44.
Walaupun kekuatan GAM telah
berkurang secara drastic pada tahun 1993, namun operasi militer (DOM) masih
diterapkan. Tentunya, hal ini membuat rakyat Aceh tetap menjadi rentan atas
tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kombatan, terutama militer. Sejak
tahun 1996, setelah 3 tahun dengan sedikit dan tanpa aktifitas GAM, para
pemimpin Aceh di ranah local dan nasional, termasuk fraksi militer dan
akademisi, mulai berbicara untuk menghentikan operasi militer. Sejak tahun
tersebut pula, Indonesia juga mulai dilanda gonjang-ganjing oleh krisis moneter
yang berujung kepada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
Soeharto dan tuntutan reformasi pemerintahan yang dikumandangkan oleh mahasiswa
sebagai reaksi atas kronisnya permasalahan birokrasi dan HAM sejak era pada
masa orde baru.
Lengsernya Soeharto pada tahun
1998, menempatkan militer dalam mode bertahan. Dalam beberapa minggu setelah
Presiden Soeharto digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, kasuskasus
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer mulai naik ke permukaan. Pihak
militer menjadi target kritikan masyarakat yang dahulunya sebagai instrument
presiden Soeharto dalam penerapan kebijakan otoriternya. Hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sebagai
pembela bangsa berdampak juga pada pecahnya institusi ini.
Pada saat keadaan di pusat
terpaku pada isu reformasi birokrasi, dalam konteks Aceh, gerakan rakyat malah
disibukkan dengan permintaan untuk mencabut kebijakan DOM yang telah 8 tahun
berlalu. Pencabutan DOM ini selain didukung oleh masyarakat dan mahasiswa, juga
didukung oleh para Ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Gubernur Aceh Shamsudin Mahmud, dalam suratnya yang dikirimkan kepada presiden
B.J.Habibie pada tanggal 29 July 1998. Permintaan ini kemudian ditanggapi
secara positif oleh pemerintah pusat dengan mencabut status DOM di Aceh melalui
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada saat itu, Jendral Wiranto,
yang berkunjung ke Aceh pada 8 agustus 1998. Wiranto juga meminta maaf kepada
rakyat Aceh atas aksi-aksi militer yang telah melanggar Hak Azasi Manusia.
Dengan kejatuhan Soeharto dan
dicabutnya status Daerah Operasi Militer di Aceh, kemudian membangkitkan
konsolidasi masyarakat sipil Aceh yang lebih padu dan mapan. Hingga periode
December 1998, masyarakat sipil Aceh untuk focus dalam menuntut; investigasi
pelanggaran Hak Azasi Manusia, penarikan pasukan TNI non-organik dari Aceh,
pembebasan narapidana dan tahanan politik dan pemberian amnesti kepada anggota
GAM, pembagian hasil Sumber daya alam yang lebih adil (80% untuk Aceh dan 20%
untuk pemerintah pusat), dan penerapan “keistimewaan daerah” dalam legislasi di
Aceh. Untuk mempercepat proses ini, gerakan mahasiswa yang tergabung dalam
KARMA – Komite Aksi Mahasiswa Aceh, mengangkat isu referendum (pemilihan suara
untuk merdeka atau tidak, melihat dari apa yang terjadi di Timor Leste) bagi
Aceh untuk menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan masyarakat sipil tersebut.
Dalam perjalanannya, pada tanggal 4 februari 1999, 106 organisasi pelajar dan
mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dalam
mengkoordinir massa untuk menuntut referendum Aceh. Para pelajar dan mahasiswa
yang tergabung dalam SIRA juga memboikot Pemilu 1999 sebagai tekanan kepada
pemerintah untuk menanggapi permintaan mereka.
Walaupun pemerintahan Presiden
Habibie tidak berlangsung lama, namun beliau telah menginisiasi pembentukan
Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan (KPTK-Aceh) terhadap Pelanggaran
Kemanusiaan di Aceh pada tanggal 30 july 1999, sebagai respon dari rekomendasi
yang diusulkan oleh Komnas HAM terkait dengan kasus pelanggaran HAM yang sering
terjadi pada masa DOM.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid, masyarakat sipil Aceh semakin dominan mengekspresikan pendapat mereka
dibandingkan GAM dalam menuntut keadilan bagi masyarakat Aceh. Desakan-desakan
referendum semakin kian terdengar di seantero wilayah Aceh. Klimaksnya, SIRA
dan gerakan pro-referendum memobilisasi hampir 1 juta massa dari seluruh aceh
untuk berkumpul dan hadir dalam SU-MPR (Sidang Umum – Majelis Pejuang
Referendum) di halaman masjid raya Baiturrahman, di Banda Aceh pada 8 November
1999.
loading...
Dan pihak militer melakukan
intimidasi, kekerasan bahkan pembunuhan untuk menghalang simpatisan masyarakat
yang akan hadir ke SU-MPR tersebut.
Menanggapi hal ini, militer dan
polisi tidak tinggal diam atas ‘people power’ yang menuntut referendum. Pada
bulan February, 2000, operasi Sadar rencong III di lancarkan oleh Kapolda Aceh
pada saat itu, Bachrumsyah Kasman, dengan tujuan untuk menangkap anggota GAM
dan “para pendukungnya.” Tidak heran bahwa sejak tahun 2000 terjadi kenaikan
yang drastic terhadap pembunuhan masyarakat sipil yang menargetkan para aktifis
dan para politisi.
Namun, dibalik eksekusi tersebut,
Abdurrahman Wahid menginisiasi pendekatan diplomasi dengan pihak GAM dalam
bentuk Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause) pada 12 May 2000 yang difasilitasi
oleh Henry Dunant Center (HDC), namun tindak kekerasan masih saja terus terjadi
hingga akhir tahun. Pada 19 Januari 2001, Humanitarian Pause di perpanjang,
seiring dengan pembicaraan antara ke dua belah pihak di Swiss. Pada bulan Juli
2001, Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden Indonesia ke-5
menggantikan Gus Dur. Pada bulan Agustus, Aceh diberikan status “Otonomi
Khusus,” yang memberikan jalan yang lebih luas untuk mengimplementasikan hukum
syariah48, dan pembagian jatah revenue kepada daerah yang lebih besar atas kekayaan
alam sendiri.
Namun pada bulan Januari 2002,
Panglima GAM, Abdullah Syafie terbunuh oleh militer Indonesia. Sehingga kembali
meningkatkan intensitas kekerasan di Aceh saat itu dan menggagalkan upaya
perdamaian yang terbungkus dalam Humanitarian Pause yang telah dinisiasi
sebelumnya. Walaupun akhirnya pendekatan diplomasi ini gagal, HDC kemudian
mencoba untuk memfasilitasi kedua belah pihak yang bertikai dan berhasil
menghasilkan Cessation of Hostilities Framework Agreement (CoHA) pada December
2002, dan di monitor oleh Joint Security Commission (JSC), termasuk di dalamnya
anggota-anggota militer ASEAN dan US yang disetujui oleh kedua belah pihak yang
bertikai.
Memang CoHA memberikan kontribusi
positif dalam penurunan tingkat kasus pelanggaran HAM, yang pernah mencapai 100
jiwa per bulan sebelum 9 december 2002. Namun, walaupun dampak CoHA ini
mempengaruhi kondisi kemanusiaan yang ada di Aceh saat itu, kontak-kontak
senjata di daerah pedalaman terus terjadi. Pihak Indonesia bahkan menilai,
dengan adanya CoHA memberikan akses kepada GAM untuk membangun angkatan
bersenjatanya. Dan pihak GAM juga menuduh bahwa tidak adanya kebijakan untuk
mengurangi pasukan militer di Indonesia sesuai dengan kerangka CoHA. Perjanjian
gencatan senjata ini mengalami pukulan telak setelah JSC diserang oleh orang
tak dikenal di daerah Aceh Tengah dan Aceh Timur pada Maret 2003. Dan pada
April 2003, pemerintahan Indonesia baru di bawah Megawati Soekarno Putri
memulai persiapan untuk menggelar operasi militer kembali di Aceh.
Komentar