Aceh merupakan daerah yang
independently-minded dan merupakan conflict area yang telah berlangsung selama
beberapa generasi. Meskipun dengan perannya yang begitu besar terhadap
Indonesia, pengkhianatan pemerintah pusat yang menggabungkan Aceh dengan
Sumatera utara yang mayoritas penduduknya Kristen dan Medan sebagai ibukotanya
memicu pemberontakan masyarakat dan ulama Aceh yang terkenal dengan
pemberontakan DI/TII pada tahun 1950. Meskipun, status daerah istimewa telah
diberikan pada tahun 1960 sebagai upaya meredam konflik pada saat itu, namun
hal ini menjadi awal terjadinya gesekan-gesekan serius antara Aceh dan
pemerintah pusat yang melahirkan konflik-konflik selanjutnya hingga masa
pemberontakan GAM sejak 1976 hingga 2005. Yang pada akhirnya melahirkan
perjanjian damai pada agustus 2005, dalam bentuk MoU Helsinki yang
ditandatangani oleh kedua pihak yang bertikai, GAM dan Pemerintah Indonesia.
Memorandum of Understanding ini diturunkan dan dijabarkan dalam Undang-Undang
Pemerintahan Aceh, yang memberikan kewenangan politik, budaya dan ekonomi local
yang sangat signifikan dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.99 Namun
begitu, demokratisasi usai konflik tidak sepenuhnya lancar dalam prakteknya.
Aceh kembali dalam politik patronase layaknya yang terjadi di Indonesia pada
umumnya, serta tantangan lain yang menyertainya.
Menurut Ansori (November 2012),
setelah ditandatanganinya MoU Helsinki 2005, mantan kombatan GAM dan tokoh
masyarakat sipil mendirikan partai politik tersendiri untuk mengakomodasi suara
politik mereka. Dalam poin MoU Helsinki, disebutkan bahwa GAM dan masyarakat
sipil Aceh dapat mendirikan partai politik ‘local’ sendiri untuk mengikuti
pemilihan umum tanpa bergabung dengan partai politik nasional lainnya. Seiring
dengan ini, para mantan kombatan akhirnya merubah jalur perjuangannya menjadi
politisi, pemerintah, bisnismen dan kontraktor. Hal ini pada akhirnya membentuk
pusaran patronase baru di Aceh. Terbentuknya pusaran kekuasaan dan kekuatan (monopoli
kekuasaan) yang baru ini akhirnya mengendalikan kesempatan ekonomi bagi pihak
partai politik dan ex-kombatan yang berkuasa. Namun, tidak semua dapat
menggunakan kesempatan ini, banyak pula mantan kombatan atau para keluarga yang
merasa kurang, bahkan “tidak kebagian” jatah dana yang diperuntukkan bagi
mereka. Yang pada akhirnya melahirkan beberapa gerakan sempalan dalam skala
kecil yang berusaha untuk mengintervensi Pemerintah terkait permasalahan
tersebut, seperti gerakan Gambit dan Din minimi. Walaupun dalam skala kecil,
penggunaan senjata oleh para gerakan kecil ini cukup memberikan dampak kepada
situasi keamanan di Aceh.
Selain itu, program rehabilitasi
dan rekontruksi yang dilakukan paska tsunami hanya dirasakan oleh segelintir
pihak dan tidak merangkul semua elemen masyarakat yang ada. Jurang pemisah
antara dana & bantuan yang diterima oleh masyarakat korban konflik dan
masyarakat korban bencana tsunami juga menjadi sumber permasalahan yang perlu
dipertimbangkan. Terutama bagi ex-milisi yang dahulunya menentang GAM yang
sebagian besar masih hidup dalam tingkat ekonomi yang rendah (20% masyarakat
Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan), menjadi hal yang perlu
dipertimbangkan karena dapat menjadi sumber lahirnya kekerasan baru dan
gangguan social lainnya. Apabila tidak di akomodir secara maksimal, maka hal
ini dapat meningkatkan tensi pergolakan untuk memisahkan diri menjadi provinsi
baru (ALA, Aceh Leuser Antara, dan ABAS, Aceh Barat Selatan) dari Provinsi
Aceh, dimana para sebagian para ex-milisi ini berada.
Sumber : buku
Menulis Kembali Sejarah Konflik Aceh
Sepenggal
Fragmen Masa Lalu untuk Masa Depan
Komentar