Lahirnya separatism GAM merupakan
hasil dari kompleksitas sumber-sumber konflik yang terakumulasi sejak lahirnya
pergerakan ini sendiri pada tahun 1976. Saat sumber-sumber ini tidak di
akomodir dan dibiarkan, hal ini menjadi kunci utama terjadinya konflik yang
berlarutlarut hingga 2005. Secara umum sumber konflik ini terdiri 4 aspek
utama:
·
Exploitasi
ekonomi
Isu utama yang menjadi sumber
utama konflik Aceh adalah mengenai masalah ekonomi. Hal ini diakibatkan kebijakan
Jakarta yang tidak adil dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di Aceh,
terutama pada periode Orde Baru.
Dengan sumber daya alam yang
kaya, termasuk minyak dan gas bumi, hasil hutan dan sumber daya alam mineral
lainnya, Aceh berkontribusi terhadap hampir 11% GDP nasional. Devisa dari gas
alam di Aceh sendiri mencapai US$ 2,6 milyar per tahun. Sedangkan pajak dan
royalti dari minyak dan gas bumi sendiri berkontribusi terhadapmilyaran dollar
yang diterima oleh pemerintah pusat. Di balik segala limpahan kekayaan ini,
eksploitasi SDA ini banyak melahirkan permasalahan-permasalahan. Perluasan
proyek-proyek industry, seperti ladang gas alam, pabirk pupuk, pabrik kertas
dan industry lainnya menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti masalah
perampasan tanah dari warga tanpa adanya kompensasi yang memadai dan
menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Contohnya, pada pertengahan tahun
1980an tercatat bahwa kurang dari 10% desa-desa yang berada di sekitar wilayah
kaya akan sumber daya mineral masih belum dialiri listrik. Hal ini kemudian
diperparah dengan krisis moneter tahun 1997, dan dalam perkembangannya pada
tahun 2002, hampir setengah dari populasinya tidak mendapatkan akses air
bersih, 1/3 anak-anak kekurangan gizi dan 29,8 % populasinya hidup dibawah
garis kemiskinan.
Hematnya, meskipun dengan SDA
yang melimpah, Aceh termasuk salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Alih-alih mendapatkan jatah yang adil akan hasil SDA-nya, Aceh malah semakin
menderita akibat meningkatnya kemiskinan dan meningkatnya control militer yang
repressive terhadap masyarakat Aceh. Maka tidak heran, banyak persepsi
masyarakat Aceh yang menganggap tanah air mereka dijajah, dirampas,
dieksploitasi dan diperlakukan tidak adil oleh Jakarta.
·
Sentralistik
dan uniformity (keseragaman)
Isu kedua yang menjadi sumber
konflik aceh adalah ketidakpuasan masyarakat aceh terhadap politik Orde baru
dengan kebijakan sentralistik dan keseragaman yang berlebihan. Konsekuensinya
adalah daerah yang memiliki identitas local yang kuat akhirnya tergerus dengan
kebijakan penyeragaman ini. Jakarta, terlalu terobsesi dengan gagasan
“persatuan nasional” untuk menyeragamkan seluruh daerah tanpa memandang
kemajemukan masyarakat dan adat di Indonesia. Bagi pemerintah orde baru,
penciptaan identitas tunggal merupakan misi suci. Salah satunya, program
transmigrasi yang ditujukan untuk mengumpulkan dan menyatukan seluruh kelompok
etnik, adat dan masyarakat menjadi sebuah entity. Visinya, “perbedaan etnik
secara perlahan akan hilang dan akhirnya akan ada satu jenis masyarakat, yaitu
rakyat Indonesia.” Namun faktanya pemerintahan orde baru mengabaikan keluhan
dari luar pulau jawa, termasuk Aceh, bahwa program transmigrasi tidak lain dan
tidak bukan adalah “Jawanisasi.”
Selain itu, kebijakan yang
“homogenistic” kepada Negara dan masyarakat memang menjanjikan stabilitas
politik, sehingga memaksa seluruh organisasi politik bahkan masyarakat
terangkul dalam system kolusi, system neo-patrimonial yang dibangun oleh
Soeharto, sehingga tidak memberikan ruang kosong terhadap oposisi di level
nasional maupun local.
Jelas secara politis penerapan
kebijakan yang terlalu sentralistik dan seragam menghancurkan lembaga politik
dan adat di ranah local dan pastinya merusak identitas/kearifan local yang ada,
termasuk Aceh. Dengan diperkenalkannya struktur birokrasi bergaya Jawa dan
politik kooptasi berdasarkan reward & punishment tersebut, maka hal ini
menyebabkan para ulama di Aceh kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat. Banyak
dari mereka yang dipaksa dikooptasi atau dipaksa memainkan peranannya sebagai
pendukung pemerintah. System eksekutif yang baru (Gubernur dan Bupati), para
teknokrat Aceh, dan kaum menengah ke atas, pada masa ini rela bekerja sebagai
tangan pemerintah dari pusat, dan menjadi lawan dari kepentingan daerah mereka
sendiri. Dan dengan control rejim Orde baru yang ketat, janji Jakarta yang akan
memberikan Aceh untuk mengimplementasikan status “daerah keistimewaan”-nya
hanya menjadi omong kosong belaka.
·
Represi
Militer
Sumber ketiga yang penyebab
konflik di Aceh adalah penerapan politik militer yang represif, khususnya
periode 1990-1998. Jika exploitasi SDA oleh Jakarta yang tidak adil dan
kekuasaan sentralistik yang terlalu terpusat menguatkan kebencian masyarakat
terhadap Jakarta, maka tindakan repressif yang brutal dan melanggar HAM
menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Banyak khalayak umum
yang tidak mengerti mengapa pemerintah pusat – walaupun telah berhasil menumpas
kebangkitan GAM jilid II hingga awal 1992 – terus memperpanjang status operasi militernya
di Aceh dan menggunakan politik represif berat bagi masyarakat Aceh. Dan ketika
pelanggaran HAM ini terangkat ke permukaan dan status DOM di cabut, pandangan
masyarakat aceh telah berubah “jijik” dan tidak percaya lagi terhadap
kredibilitas militer khususnya, dan pemerintah pusat pada umumnya.
·
Politik
Impunitas
Sumber konflik ke-4 adalah
politik impunitas. Masyarakat Aceh merasa marah dan dongkol atas
ketidakmampuan/keengganan Jakarta untuk memberikan keadilan bagi Aceh dengan
menyeret militer dan pihak-pihak yang bertanggung jawab pelanggaran HAM ke
dalam pengadilan yang semestinya dan menjatuhkan hukuman yang semestinya pula.
Penderitaan yang luar biasa yang dilakukan oleh militer selama masa konflik
meninggalkan perasaan kecewa yang mendalam terhadap pemerintah pusat.
Factor-faktor tersebut tidak
serta merta lahir secara bersamaan, factor pertama dan kedua yang mengawali
lahirnya kebencian atas kekuasaan Jakarta yang semena-mena, sedangkan factor
ketiga dan keempat yang memperdalam kebencian tersebut. Hematnya, kebijakan
eksploitasi SDA yang berlebihan dan sentralisasi dilihat sebagai sumber akar
konflik di Aceh, sedangkan politik repressif dan impunitas yang me-langgeng-kan
kebencian Aceh akan Jakarta hingga tahap kronis. Dan ketika kebencian ini
meledak dalam bentuk pemberontakan bersenjata, respon Jakarta dalam bentuk
operasi militer tidak disertai dengan upaya serius untuk mengatasi sumber
ketidaksenangan Aceh terhadap Jakarta. Bahkan, setiap kali Aceh menyampaikan
ketidaksenangan-nya terhadap Jakarta, pemerintah pusat selalu menjawab dengan
ancaman atau konsekuensi akan pendekatan militer yang serius.
Sumber : buku
Menulis Kembali Sejarah Konflik Aceh
Sepenggal
Fragmen Masa Lalu untuk Masa Depan
Komentar